Senin, 30 Maret 2009

KARATE SEBAGAI THERAPY

31 Maret 2009

Tanya:
Saya mau bertanya masalah cucu saya laki-laki usia sembilan tahun. Dia adalah cucu pertama saya dari anak saya yang sulung. Anak ini tinggal bersama saya sejak bayi, waktu itu orang tuanya masih bersekolah dan tinggal di rumah saya. Sekarang sudah lebih dari lima tahun cucu saya ini hidup terpisah dari orang tuanya, dan dengan sendirinya saya menjadi orang tua pengganti, dan cucu saya pun memanggil saya ’Mama’. Di rumah dia adalah satu-satunya anak.
Cucu saya ini sejak kecilnya memang sangat aktif, bahkan berlebihan aktifnya tetapi waktu kecil pernah dibawa ke dokter ahli saraf katanya anak ini tidak hiperaktif. Sekarang ternyata saya dibuatnya kewalahan dan kelelahan. Walaupun umurnya sudah sembilan tahun anak ini masih selalu ditemani untuk tidur, dia tidak bisa mengatur waktunya untuk belajar dan kalau kita ’meleng’ dia sudah ’menghilang’. Terhadap barang-barang miliknya juga kurang bertanggung jawab, misalnya sering tertinggal, tercecer dan bahkan hilang.
Dalam setiap kesempatan anak ini bertingkah laku menarik perhatian orang, selalu merengek minta dibelikan mainan dan buku-buku cerita atau apa saja yang dilihatnya. Prestasi sekolahnya sedang-sedang saja karena anak ini tidak bisa konsentrasi. Saya selalu memberi nasihat-nasihat tapi tampaknya tidak ada yang ’masuk’ pada anak ini.
Saya telah berkonsultasi dengan seorang psikolog untuk cara penanganan anak ini karena saya benar-benar sudah habis akal menghadapi anak ini. Psikolog menyarankan saya agar lebih ’sampai hati’ atau ’tega’ untuk mengatakan ’tidak’ kepada anak ini untuk permintaan yang tidak sepantasnya dan mengatakan ’tunggu atau nanti’ untuk menunda permintaannya sehingga tepat waktunya nanti untuk bisa dikabulkan. Katanya anak ini perlu re-edukasi untuk menanamkan norma dan nilai-nilai yang berlaku di rumah, sekolah dan masyarakat.
Kemudian dikatakan oleh psikolog itu agar dimasukkan ke sekolah karate sebagai terapinya untuk menanamkan kedisiplinan dan hal-hal positif yang lain. Saya bukan meragukan advis psikolog di atas, karena beliau juga seorang rohaniwan, tapi saya betul-betul awam mengenai karate. Yang saya ragu adalah apakah betul karate bisa dijadikan terap ?
Ny. Fina, Rawamangun
Jawab:
Ibu Fina, saya bisa memahami kecemasan Ibu terhadap cucu tersayang. Secara biologis Ibu adalah nenek bagi cucu tetapi secara psikologis Ibu adalah seorang Mama.
Mengenai masalah yang Ibu hadapi, banyak juga ibu-ibu lain yang menghadapi masalah serupa, ada yang karena anak dimanjakan ataupun karena memang salah arah dan baru disadari setelah jauh menyimpang dan kita tidak sanggup mengatasinya.
Tentu psikolog tempat Ibu berkonsultasi sudah memberikan arahan dalam hal program re-edukasi yang perlu ditempuh. Sejalan dengan itu, telah disarankannya untuk memasukkan cucu Ibu ke sekolah karate.
Bagi orang awam, karate sering diasosiasikan dengan kekerasan dan agresivitas. Tetapi sebetulnya tidak. Sepengetahuan saya, sejarah berkembangnya karate di Indonesia, awalnya di Jakarta adalah pada awal dekade 1960-an memang adalah untuk ’menurunkan’ ilmu yang didapat para alumnus dari perguruan tinggi di negeri Sakura yang mengambil ekstrakurikuler olahraga seni bela diri karate.
Saat itu di Jakarta sedang maraknya kumpulan crossboys yang selalu mau adu unjuk kejagoannya sehingga terjadi banyak perkelahian antargang. Maka visi dari para senior olahraga karate di samping mengembangkan olahraga bela diri karate juga ’character building’ kaum muda. Sebagai perintis, mereka bercita-cita untuk memberikan pelatihan karate yang benar, sehingga para pemuda yang tadinya mau unjuk jago di jalanan akan melampiaskan agresivitasnya di tempat latihan karate. Di samping itu falsafah dan disiplin karate diharapkan bisa mengasah nurani para olahragawan karate yang disebut karateka. Begitulah karate dikembangkan dan tanpa disadari ternyata memang frekuensi perkelahian antargang menurun drastis, sehingga olahraga bela diri karate ini memperoleh tempat di hati masyarakat dan berkembang secara pesat.
Sayang sekali memasuki dekade 1990-an animo terhadap olahraga ini mulai menurun.
Mengapa karate bisa digunakan untuk menanamkan disiplin pada seseorang? Olahraga seni beladiri karate ini terdiri dari gerakan dasar, seni perkelahian (Kumite) juga ada kumpulan jurus atau kembangan yang dinamai kata. Bila dalam kumite kecepatan dan ketepatan bentuk gerakan yang menjadi ukuran, maka dalam kata kesempurnaan bentuk dalam keindahan alunan gerak dan irama menjadi tolok ukur. Untuk melakukan gerakan karate yang benar, seseorang harus mengikuti petunjuk secara saksama dan menjalankan gerakan dalam urutan yang tepat agar dapat membuat gerakan karate yang cepat, kuat tetapi tetap indah. Bila gerakan karate dilakukan secara tidak tepat, maka gerakan itu tidak akan menghasilkan apakah itu pukulan, tangkisan maupun tendangan yang efektif, artinya tidak adanya kekuatan dan kecepatan karena bukan hanya bentuk yang harus benar-benar betul tetapi juga cara mengalirkan serta memusatkan tenaga dari seluruh bagian tubuh ke suatu titik dapat maksimal.
Patut dipahami karena pada awalnya karate adalah ilmu seni beladiri tangan kosong (kara = kosong, te = tangan), jadi setiap gerakan serangan haruslah bisa ’mematikan’ dengan kecepatan dan kekuatan penuh. Bila di kemudian hari sebagai olahraga tidak dibenarkan mencederai lawan di arena pertandingan, gerakan karate diadu mana yang lebih cepat dan kuat serta dapat dikontrol sedekat mungkin dengan sasaran badan lawan.
Jadi, bila ada kesempatan mengenai lawan tetapi harus dapat mengontrol atau mengendalikan sedekat mungkin dengan sasaran, itu artinya seseorang harus betul-betul disiplin dengan aturan pengendalian diri. Demikian, dalam paragraf pendahuluan tadi Ibu dapat melihat banyak aspek yang diajarkan dan dituntut.
Selain itu, perguruan atau sekolah karate yang benar mempunyai beberapa janji yang harus dapat dijalankan oleh para murid atau karateka, baik dalam tempat latihan maupun di masyarakat. Janji itu antara lain: karateka harus memelihara kepribadian yang luhur, patuh pada kejujuran, sanggup mempertinggi prestasi, sanggup menjaga sopan santun dan sanggup menguasai diri.
Gerakan karate, seperti halnya olahraga lain, bila dilakukan secara tidak benar atau salah dapat menimbulkan cedera bagi pelakunya, ini adalah sesuai prinsip kesehatan olahraga pada umumnya.
Maka, tidak salah bilamana psikolog tempat Ibu berkonsultasi menyarankan untuk memasukkan cucu Ibu ke sekolah karate dalam rangka mengajarkan disiplin dan lain-lain.
Hanya saja dalam pertimbangan memilih perguruan atau sekolah karate, di samping induk perguruannya harus jelas, juga guru atau pelatih yang akan berinteraksi dengan para muridnya merupakan faktor penting, apalagi untuk maksud terapi. Pemilihan tempat latihan karate yang dekat dengan rumah itu ideal sekali sehingga anak tidak lelah sebelum latihan. Namun perlu juga adanya pelatih dengan kualifikasi yang memadai, di samping tegas dan reputasinya baik. Ada baiknya bila pelatih selain mempunyai tingkatan dan yang cukup juga pernah mengikuti pendidikan pelatih sehingga mempunyai wawasan kepelatihan yang cukup luas dan komprehensif.
Dengan memasukkan cucu Ibu ke perguruan atau sekolah karate, maka urusan pendidikan disiplin serta norma atau nilai-nilai sosial dapat dibagi antara Ibu dan pelatih karate. Semoga berhasil!
Dra .Grace A. Lumenta,Psi - Psikolog
RS Mediros

2 komentar:

  1. CaYooo....bUuUu.........!!!!!!!!!1

    BalasHapus
  2. Pak Saya mau nanya mulai umur brp tahun anak sudah boleh iktu kursus karate. anak saya juga berumur 2,5 tahun dan sangat aktif sekali. Dia pernah dibilang hiperaktif oleh dokter yang memeriksanya. Tetapi setelah kita liat dia tidak seperti ciri-ciri anak hiperaktif.

    BalasHapus